Tuesday, July 26, 2005

Tertunduk Diam

Baru aku mau belajar merangkak kembali, tetapi dikejutkan kembali dengan kenyataan yang berulang. Aku teringat akan semua yang telah berlalu. Aku ingat pula "rasa" yang menyesakkan dada ini, keinginan selalu terbentur pada kenyataan yang tak dapat kutolak, hanya harus kuhadapi walau kegetiran memberkas di jalan yang kutapaki.

Kuteringat dan kuterdiam kembali, mungkin ini saatnya aku tak berlari atau berteriak, mungkin ini saatnya aku kembali untuk diam dan diam, bersatu dengan keheningan dan gelapnya kesendirian. Tanpa ingin kurasuki dengan sosok manapun, aku kembali bersatu dalam kesunyian alam dan kehampaan waktu. Kujalani seluruhnya dengan rasa dingin yang kian lama kian menyelimuti jiwa dan hatiku.

Kuingin memanaskannya kembali, namun benturan dan benturan semakin menyesakkan dada ini, pikiranku tertampar kembali atas semua yang ingin kuhadapi, terdiam dan selalu terdiam dalam kesendirian. Tak bisa kuteriakkan kata-kata, apa pula yang ingin kuteriakkan dan siapa pula yang ingin kumaki? Hanya cercaan kosong dan kepedihan yang terhasilkan, lebih baik aku diam dan berfikir dengan matang.

Menunggu adalah lebih baik daripada bergerak tapi tak tahu arah kemana akan melangkah. Itu yang kulakukan dalam memupuk dan mengobati rasa sakit ini, goresan dan torehan yang tajam cukup membuatku ingin muncul kepermukaan kembali, namun mengapa benturan pula yang kudapatkan? Atau ini hanyalan sebuah jalan yang memang harus kulalui? Ataukah memang belum waktunya "rasa" itu muncul dan mendekatiku kembali?

Kuterdiam dan menunduk...

1 comment:

Novita Sianipar said...

diam itu emas bukan pribahasa yang kosong kok. "sebab dalam tinggal tenang aku mendapat kekuatan baru"